https://bit.ly/35b6ylF

Siapa Pribumi Asli Indonesia yang Sebenarnya?

Siapa Pribumi Asli Indonesia yang Sebenarnya?
Editor's Note: Pidato pertama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, yang menyinggung nasib "pribumi", sudah pasti mengundang perdebatan. Beberapa pihak (baca: netizen) dengan cepat mencap komentar tersebut bernada rasial. Namun ada pula yang mengajak kita untuk mencerna pidato sepanjang lima halaman itu secara lengkap, bukan sepotong-sepotong. INFO MENARIK

Terlepas dari niat asli Anies, IDN Times mengajak pembaca untuk melihat kata "pribumi" dari sisi sains dan sejarah. Artikel berikut pertama kali terbit pada 23 April 2017. BERITA UNIK

Mulai dari keributan beberapa saat lalu, termasuk komentar-komentar netizen yang mengecewakan pada pemberitaan 10 anak muda Indonesia berprestasi level Asia di majalah Forbes: penghargaan 30 under 30. Beberapa mempermasalahkan "pribumi" dan "non-pribumi" dalam komentarnya dengan sama sekali gak mempedulikan prestasi yang ditorehkan atas nama Indonesia. TIPS KESEHARIAN




Bangsa kolonial meninggalkan banyak sekali hal dalam peradaban kita, Indonesia. Mulai dari bangunan dan benda-benda kuno, kurikulum sampai warung tegal yang bisa kamu jumpai di mana-mana. Selain itu ada satu peninggalan kolonial dalam bentuk pemahaman yang ternyata masih melekat di masyarakat Indonesia sampai sekarang, yaitu konsep “pribumi”. Kalau ditelaah secara bahasa, kata “pribumi” berdasarkan KBBI berarti penghuni asli yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Lalu siapakah pribumi Bangsa Indonesia yang sebenarnya? Semua akan dibahas secara lengkap di sini!

Seperti apa pengertian pribumi oleh masyarakat awam Indonesia dan bagaimana penyikapan mereka terhadap itu?




Yang dimengerti secara kilat, kaum pribumi atau orang asli Indonesia dalam pandangan masyarakat adalah suku seperti Jawa, Batak, Minangkabau, Bali, Dayak, Papua dan masih banyak suku lainnya yang telah kita pelajari dari SD, termasuk di dalamnya ada baju adat, lagu daerah dan atribut lainnya.




Sementara itu orang-orang keturunan Arab, Tionghoa, India yang cukup banyak ditemukan di Indonesia masih sering dianggap “asing” atau “pendatang”. Padahal mereka bukan sekedar lahir dan besar di Indonesia, melainkan juga memegang budaya dan menggunakan Bahasa Indonesia. Anggapan yang nampaknya sepele ini ternyata mampu menimbulkan diskriminasi dan kecemburuan sosial yang disangkutpautkan banyak hal, terutama politik.




Berdasarkan pernyataan Ibu Herawati Sudoyo selaku Deputi Bidang Penelitian Fundamental Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, dalam wawancaranya dengan Tempo Media, pribumi adalah orang yang menghuni suatu kawasan sejak lama, sementara penduduk yang saat ini mendiami Indonesia berasal dari beberapa titik migrasi. Kita semua bersaudara dan gak ada darah yang murni.




Beberapa dari kamu yang sering mengaku sebagai orang Indonesia asli sering gak sadar bahwa seluruh suku yang ada di Indonesia sebenarnya termasuk bangsa pendatang sesuai bukti prasejarah yang ada.




Manusia modern baru masuk ke tanah air pada Era Pleistosen. Nah, manusia pendatang ini terbagi menjadi dua golongan, yaitu Melanesia dan Austronesia. Orang Melanesia datang sejak 50.000 tahun lalu. Melanesia mayoritas berasal dari Afrika dan biasanya bermata biru, menandakan bahwa sebenarnya hampir gak ada satupun dari kita saat ini yang merupakan “pribumi” sejak awal, kecuali campuran dan gennya telah berkembang. Migrasi kedua sekitar 16.000-35.000 tahun lalu dari Indocina masuk ke Nusantara lewat jalur darat. Setelah itu disusul orang Austronesia sekitar 4.000 tahun lalu dari Formosa ke bagian barat dan timur Nusantara. Akhirnya mereka semua berkembang menjadi berbagai suku yang kita kenal saat ini.

Jauh setelah Austronesia dan berbagai variasi di dalamnya, datanglah tiga bangsa ke nusantara secara berurutan, yaitu: India, Tionghoa kemudian Arab.




Pada abad ke-3 sampai sekitar 2000 tahun lalu, masyarakat di Nusantara menjalin hubungan dengan India lewat perdagangan logam dan rempah-rempah. Dari sinilah kebudayaan India dalam Hindu-Buddha masuk ke Nusantara.




Setelah itu, Nusantara menjalin hubungan dengan Dinasti Tiongkok daerah selatan. Berdasarkan data dari Paguyuban Nasional Marga Tionghoa, tahun 907, I Ching, seorang Bhiksu Buddha berkelana lewat laut ke Nusantara dan India. Menurut catatan I Ching, ketika ia ke sana sudah ditemukan koloni orang Tionghoa di Tuban, Gresik, Jepara, Lasem dan Banten (menandakan telah ada orang Tionghoa sebelumnya). Pada abad ke-15 (Masa Dinasti Ming) sekitar tahun 1407, Nusantara kedatangan Laksamana Cheng Ho yang mendarat di Sambas dan Palembang, kemudian membangun peradaban Islam di tempat-tempatnya berkelana. Laksamana Cheng Ho berlayar ke Indonesia dengan tujuan menjalin persahabatan, alih teknologi, perdagangan dan penyebaran Islam. Di tahun 1474, dikenallah wali songo yang lima di antaranya merupakan campuran etnis Tionghoa melanjutkan penyebaran Islam di Nusantara.




Bangsa Arab pun secara perlahan datang menjalin kerja sama perdagangan. Tahukah kamu ternyata hubungan antar budaya ini menghasilkan banyak perkawinan silang. Orang-orang asing ini pun bisa jadi adalah generasi leluhur di atas kita yang tercampur darah dan gennya satu sama lain. Data terbaru menyatakan, gen masyarakat Indonesia saat ini adalah 74% Asia Tenggara dan Oseania, 9% Asia Selatan, 5% Asia Timur, 6% Arab dan 6% Afrika.

Baik itu keturunan Austronesia maupun "pendatang" semua telah berbaur dan menciptakan generasi baru sebagai satu keutuhan Nusantara, kemudian persatuan tersebut dipecahkan oleh bangsa kolonial asal Eropa yang mendoktrin istilah "pribumi".




Mulanya orang Nusantara dan “pendatang” hidup berdampingan dengan damai. Sayangnya pemerintah Eropa mulai menggolongkan dan membedakan orang satu sama lain berdasarkan asal usul etnisnya. Secara kasar, orang Eropa menempatkan diri sebagai golongan yang paling atas secara kehormatan dan kedudukan, disusul oleh orang-orang Timur seperti Arab, Tionghoa dan India. Sementara orang-orang yang mereka sebut “pribumi” ditempatkan dalam posisi yang paling bawah. Alhasil masyarakat Nusantara yang merupakan “campuran” turut menderita karena gak jelas masuk golongan mana. Perpecahan ini dilahirkan bangsa kolonial untuk membuat kekuatan masyarakat Nusantara melemah. Walau bangsa kolonial menggoyahkan mereka dalam pelevelan, beberapa multi-golongan dari mereka tetap bersatu untuk melakukan banyak perlawanan, meski gagal karena gak semuanya bersatu sebagai Nusantara seutuhnya dan masih termakan paham perbedaan yang ditanamkan bangsa kolonial.

Para pejuang kemerdekaan Indonesia telah berupaya membuat negara mengakui bahwa siapapun yang bertempat tinggal, berbudaya dan berbahasa Indonesia adalah Warga Negara Indonesia. Hal tersebut memang dirusak kembali di rezim orde baru, tapi kembali dipersatukan oleh Gus Dur.




Menjelang masa kemerdekaan, tokoh seperti Tjiptomangunkusumo, Amir Syarifudin dan Soekarno memperjuangkan agar masyarakat Nusantara dan “golongan kedua” diperhitungkan sebagai orang Indonesia tanpa terkecuali. Dengan catatan, mereka sudah berbudaya, menetap dan berbahasa Indonesia. Menyedihkannya, konsep persatuan ini cuma bertahan sampai tahun 1965 akibat di era orde baru digolongkan lagi antara “pribumi” dan “non-pribumi”. Akibatnya orang-orang yang berbudaya ‘campuran’ sesuai etnisnya harus beradaptasi dalam level ekstrim, misalnya sampai perlu mengganti namanya. Akhirnya dalam waktu 30 tahun, rezim orde baru berakhir. Konsep “pribumi” dan “non-pribumi” dihapuskan oleh Gus Dur karena itu adalah diskriminasi. Itu berlaku hingga saat ini. Jadi sekarang sudah gak waktunya lagi meributkan soal asal usul dan perbedaan satu sama lain.




Mengingat bahwa semua yang tinggal, berbudaya dan berbahasa Indonesia adalah Warga Negara Indonesia, maka sudah gak zamannya lagi kita mempermasalahkan "pribumi" dan "non-pribumi", karena gak satupun dari kita adalah penghuni asli atau darah murni sejak awal Nusantara ada. Jadi, jangan lagi berpikiran kuno atau primitif seperti itu ya. Tanpa perlu mengadakan Sumpah Pemuda lagi, mari kita bersama berjuang mengharumkan nama Indonesia, gak peduli siapapun kita dan apapun latar belakang kita. Hidup Indonesia! #SatuIndonesia

Tidak ada komentar