https://bit.ly/35b6ylF

4 Potret Kerasnya Kehidupan Para Perempuan di Papua Ini Akan Bikin Mata Berair

4 Potret Kerasnya Kehidupan Para Perempuan di Papua Ini Akan Bikin Mata Berair
Sudah bukan menjadi rahasia lagi kalau negeri yang berada di ujung timur Indonesia ini disorot sebagai negeri tertinggal, dari fasiltas pendidikan hingga kesehatan yang belum mumpuni. Belum lagi akses yang sulit membuat Papua jauh dari jangkauan pemerintah. Tidak hanya itu ternyata, para perempuan juga harus berusaha ekstra untuk bisa bertahan hidup. TIPS KESEHARIAN

Mereka harus bekerja keras di ladang dan banyak yang tidak mengenyam bangku sekolah, padahal  jika difikir ulang, kekayaan alam Papua yang melimpah bisa saja membuat mereka hanya perlu fokus mengurus rumah dan anak. Mirisnya, beginilah potret menyedihkan para kaum perempuan di bumi Papua. BERITA UNIK

Perempuan banyak yang putus sekolah

Anak-anak di Papua memang masih belum tersentuh pendidikan menyeluruh, angka putus sekolah juga lebih besar dibanding dengan daerah di pulau lain. Menurut data yang didapat dari Indonesia Government Index tahun 2013, perempuan lebih rentan 1,5 tahun putus sekolah dibanding laki-laki. Masalah lain adalah butuh usaha yang super keras untuk bisa mencapai sekolah, karena anak-anak Papua harus menempuh perjalanan panjang dahulu untuk bisa sampai di sekolah. INFO SPECIAL



Ditambah lagi, fasilitas sekolah yang belum memadai, belum tersedianya perpustakaan, gedung sekolah yang seadanya membuat kita ikut merasakan perasaan mereka. Makanya fikirkan lagi deh kalau mau malas-malasan.

Ribuan perempuan alami kekerasan seksual sejak tahun 2007

Di Papua seks bebas dan kekerasan terhadap perempuan masih sering dijumpai. Perempuan malah mengalami diskriminasi yang berlapis, baik dari segi kultural maupun KDRT. Kepala suku berhak memilih perempuan manapun untuk ia singgahi sebagai korban penyaluran hasratnya, hal tersebut tentu dipicu karena pemberlakuan adat istiadat yang masih kental.



Hingga tahun 2016 lalu, ada sekitar 1.800 perempuan suku asli Papua yang menjadi korban kekerasan seksual dan diskriminasi. Tidak hanya itu, minimnya pengetahuan tentang virus HIV juga bisa menjadi pemicu tindakan ini. makanya, sebagai Untuk tindak lanjut dari masalah tersebut, pemerintah Provinsi Papua telah mengesahkan Perdasus No. 1 Tahun 2016  tentang Pemulihan Kekerasan dan Diskriminasi Perempuan Asli Papua.

Bekerja banting tulang di ladang sekaligus menjadi ibu rumah tangga

Pekerjaan seharusnya adalah tanggungjawab laki-laki sebagai kepala rumah tangga.  Berbeda dengan yang terjadi di bumi Papua, pembagian pekerjaan yang jelas antara laki-laki dan perempuan tampaknya sudah ada sejak zaman dahulu kala. Pembagian yang sudah ada sejak lama ini menugaskan perempuan untuk mengurus rumah tangga dan ladang, sedangkan laki-laki berburu dan menyelesaikan perang dengan suku lain.



Namun, seiring berkembangnya zaman, peran lelaki semakin berkurang sedangkan beban perempuan tambah banyak. Perempuan Papua memiliki andil yang sangat besar dalam kehidupan sehari-hari, mereka harus pergi ke ladang, mengurus makanan untuk keluarga, beternak babi, serta mengurus anak. Bayangkan, peran mereka sudah seperti kepala rumah tangga saja kan?

Kekuasaan tetap ada di tangan laki-laki

Masyarakat Papua masih menganut budaya patriarki, dimana perempuan ditempatkan selalu berada di bawah bayang-bayang lelaki. Kebebasan kaum perempuan juga tergantung dengan laki-laki, jika didapati perempuan memiliki kepandaian yang prestasi yang bisa mengungguli laki-laki maka hal tersebut akan di halangi oleh para kaum adam.



Tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari, budaya patriarki ini juga berlaku dalam pernikahan. Ketika mereka menikah, orangtua biasanya meminta mahar dengan jumlah besar, dengan anggapan itulah laki-laki akan berfikir bahwa mereka bisa bertindak sewenang-wenang kepada sang istri. Makanya, walaupun sudah bekerja keras di ladang dan menjadi ibu rumah tangga, perempuan Papua tetap menempati gender kedua.

Ya, begitulah kenyataannya, di balik kekayaan indah alam Papua ada perempuan yang masih berjuang dengan segala keterbatasan. Mereka tak hanya menjadi korban diskriminasi gender saja, tapi juga harus berperan ganda sebagai kepala rumah tangga. Besyukurlah para perempuan yang diperlakukan selayaknya perempuan.

Tidak ada komentar